Syekh Nawawi al-Bantani: Ulama Dunia dari Ujung Barat Nusantara
Nama lengkap: Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani
Lahir: Tanara, Serang, Banten – sekitar tahun 1230 H / 1813 M
Wafat: Mekkah, 25 Syawwal 1314 H / 1897 M
Dimakamkan: Jannatul Mu'alla, Makkah al-Mukarramah
Ulama Besar dari Tanara
Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama paling produktif yang pernah dilahirkan oleh bumi Nusantara. Lahir di Tanara, sebuah kawasan di pesisir Serang, Banten, beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga ulama. Ayahnya, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, adalah ulama lokal yang disegani, sementara ibunya, Zubaedah, adalah ibu rumah tangga yang sederhana namun penuh dedikasi terhadap pendidikan anak-anaknya.
Sejak usia lima tahun, Nawawi kecil sudah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari dasar-dasar ilmu agama langsung dari ayahnya. Di usia delapan tahun, ia dan dua adiknya belajar kepada K.H. Sahal di Banten, lalu kepada Syekh Baing Yusuf di Purwakarta.
Menuntut Ilmu ke Haramain
Pada usia 15 tahun, setelah sempat mengajar di Banten, Syekh Nawawi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pengembaraan ilmiahnya. Di sana, ia berguru kepada para ulama besar dan menjadikan Mekkah sebagai rumah ilmunya.
Namun, semangat keadilannya mendorongnya kembali ke Banten sekitar tahun 1828 M. Menyaksikan ketimpangan sosial akibat penjajahan Belanda, ia berdakwah dan mengobarkan perlawanan. Karena aktivitasnya dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial, ia dibatasi geraknya dan akhirnya kembali ke Mekkah pada puncak Perang Diponegoro tahun 1830.
Sayyidul Ulama al-Hijaz
Di Mekkah, Syekh Nawawi menetap di daerah Syi’ib ‘Ali dan mulai mengajar dari beranda rumahnya. Lambat laun, murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Keilmuan dan kedalaman spiritualnya menjadikannya tokoh sentral di Haramain. Tak hanya dikenal sebagai ulama Nusantara, beliau bahkan digelari Sayyidul Ulama al-Hijaz, “Pemimpin para Ulama Hijaz,” sebuah pengakuan yang menempatkannya di puncak otoritas keilmuan dunia Islam kala itu.
Penulis Puluhan Kitab
Syekh Nawawi adalah sosok ulama yang sangat produktif. Ia menulis lebih dari 100 karya ilmiah dalam berbagai bidang: tafsir, fiqih, akidah, tasawwuf, hingga hadits. Beberapa karya terkenalnya antara lain:
- Al-Munir (tafsir), yang disebut lebih unggul dari Tafsir al-Jalalain.
- Kasyifah al-Saja, syarah kitab Safinatun Najah.
- Fath al-Majid, Tijan ad-Darari, Nur al-Dhalam (akidah).
- Tanqih al-Qaul (hadits).
- Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Syarah 'Uqud al-Lujain, Fath al-Qarib (fiqih).
- Qami’ al-Thugyan, Minhaj al-Raghibin, Nashaih al-‘Ibad (tasawwuf).
Karya-karya beliau masih diajarkan hingga kini di pesantren-pesantren Nusantara, termasuk di Pondok Pesantren Zainul Hasanain.
Jari yang Menjadi Lentera
Salah satu kisah paling menggetarkan tentang beliau adalah saat beliau menulis kitab Maraqi al-‘Ubudiyyah di dalam syuqduf (semacam tenda di atas unta). Karena tidak ada cahaya, beliau memohon kepada Allah agar jari telunjuk kirinya bisa menyala sebagai pelita. Doa itu dikabulkan, namun menyebabkan jarinya cacat seumur hidup. Kisah ini menjadi simbol ketulusan dan pengorbanan ulama dalam mencurahkan ilmunya.
Jasad yang Tak Lapuk
Setahun setelah wafat, sesuai kebijakan pemerintah Saudi, makam beliau hendak dibongkar. Namun, para petugas terkejut karena menemukan jasad Syekh Nawawi dalam kondisi utuh sempurna—tanpa pembusukan sedikit pun. Kain kafannya pun masih bersih. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak memindahkan makam beliau, dan hingga kini, jasad Syekh Nawawi tetap dimakamkan di Jannatul Mu’alla, berdampingan dengan makam Asma’ binti Abu Bakar.
Warisan yang Terus Hidup
Walau wafat di Mekkah, Syekh Nawawi tetap hidup di hati umat. Setiap tahun, haul beliau diperingati di kampung halamannya, Tanara, Serang—tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara yang kini diasuh oleh K.H. Ma’ruf Amin.
"Jika jasad bisa binasa, namun ilmu akan selalu menjadi cahaya."
Disusun oleh Ibnu Zahanain