Darah di Mihrab Subuh: Wafatnya Umar bin Khattab pada 26 Dzulhijjah
Subuh belum lama menyingsing di Madinah, ketika suara azan memecah kesunyian dan para sahabat bergegas menuju masjid. Di tengah kekhusyukan yang biasa menyelimuti fajar, tiba-tiba terdengar jeritan dan kegemparan: Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, roboh bersimbah darah di mihrab. Hari itu, 26 Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah, bukan hanya menandai akhir hayat seorang khalifah yang adil, tapi juga menjadi awal duka mendalam bagi umat Islam. Sebilah pisau bermata dua mengakhiri hidup seorang lelaki yang pernah didoakan Rasulullah ﷺ agar Allah menguatkan Islam dengannya. Ini adalah kisah tentang pengkhianatan, doa yang dikabulkan, dan syahid di penghujung malam.
Dilansir dari kitab al-Jawharah fī Nasab an-Nabī wa Aṣḥābih al-‘Asharah (2/107), disebutkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu wafat pada hari Senin, empat hari menjelang akhir bulan Dzulhijjah tahun ke-23 Hijriyah. Beliau ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, seorang budak milik al-Mughirah bin Syu'bah.
Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari Yahya bin Sa'id, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa Abu Lu’luah menikam Umar bin Khattab dan bersamaan dengan itu juga melukai dua belas orang lainnya; enam di antaranya wafat. Setelah melakukan penyerangan, seorang lelaki dari Irak melemparkan jubah ke arah Abu Lu’luah, lalu menjatuhkannya. Ketika Abu Lu’luah merasa tak dapat melarikan diri, ia menusuk dirinya sendiri dan meninggal.
Al-Waqidi meriwayatkan dari beberapa sanad, bahwa suatu hari Umar bin Khattab keluar menuju pasar dengan bertumpu pada tangan Abdullah bin az-Zubair. Mereka bertemu Abu Lu’luah, yang mengeluh kepada Umar tentang beban pajak (kharaj) yang harus ia bayar kepada tuannya, al-Mughirah. Ia meminta agar Umar berbicara kepada tuannya untuk meringankan beban tersebut. Umar bertanya, "Berapa jumlah kharajmu?" Ia menjawab, "Satu dinar." Umar berkata, "Aku kira itu tidak berlebihan. Engkau adalah pekerja yang baik."
Lalu Umar bertanya, "Apa pekerjaanmu?" Ia menjawab, "Aku pandai membuat penggiling (mesin giling)." Umar berkata, "Buatkanlah penggiling untukku." Setelah itu, Abu Lu’luah pergi sambil berkata, “Aku akan buatkan untukmu penggiling yang akan dibicarakan orang-orang di Timur dan Barat.” Abdullah bin az-Zubair yang mendengar ini merasa curiga akan perkataannya.
Ketika azan Subuh dikumandangkan, Umar keluar untuk mengimami shalat. Pada saat beliau sedang mengatur shaf, Abu Lu’luah yang telah bersembunyi, menyerangnya dengan pisau bermata dua, menikamnya enam kali. Salah satu tusukan, yang mengenai bagian bawah pusarnya, menjadi penyebab utama wafatnya.
Dalam keadaan terluka parah, Umar berteriak, “Di mana Abdurrahman bin Auf?” Lalu orang-orang berkata, “Ini dia, wahai Amirul Mukminin.” Umar memintanya untuk maju dan mengimami shalat. Abdurrahman pun mengimami jamaah dan membaca dua surat pendek: Al-Ikhlas dan Al-Kafirun.
Setelah shalat selesai, Umar dibawa masuk ke rumahnya. Beliau lalu berkata kepada putranya, Abdullah: “Keluarlah dan lihat siapa yang menikamku.” Abdullah keluar dan mendapatkan kabar bahwa yang membunuhnya adalah Abu Lu’luah, budak al-Mughirah bin Syu’bah. Setelah mendengarnya, Umar berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seseorang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ lalu memperdebatkannya denganku di hadapan Allah kelak.”
Diriwayatkan pula dari Imam Malik dari Zaid bin Aslam bahwa Umar bin Khattab sering berdoa:
"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kematianku di tangan seseorang yang pernah bersujud kepada-Mu walau hanya sekali, sehingga ia memperdebatkannya denganku pada hari kiamat."
Penyusun : Fils d'Albar